Tuberkulosis (TBC) sering disebut sebagai ancaman tersembunyi karena sifatnya yang insidious dan kemampuannya untuk bersembunyi di dalam tubuh selama bertahun-tahun tanpa menimbulkan gejala yang jelas. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis ini sebagian besar menyerang paru-paru, namun tidak jarang bakteri ini juga menyerang organ lain seperti ginjal, tulang belakang, hingga otak. Memahami karakteristik TBC sebagai ancaman tersembunyi ini sangat penting untuk deteksi dini dan penanganan yang efektif.
Gejala TBC yang Perlu Diwaspadai
Meskipun disebut ancaman tersembunyi, TBC tetap memiliki gejala yang dapat menjadi petunjuk. Gejala TBC paru yang paling umum adalah batuk berdahak yang berlangsung lebih dari dua minggu, seringkali disertai darah. Gejala lain yang bisa muncul meliputi:
- Demam ringan, terutama di sore atau malam hari.
- Keringat malam tanpa aktivitas fisik.
- Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
- Nafsu makan berkurang.
- Nyeri dada atau sesak napas.
- Kelelahan.
Penting untuk segera memeriksakan diri ke dokter jika mengalami batuk berkepanjangan, terutama jika ada riwayat kontak dengan penderita TBC.
Penularan dan Diagnosa
TBC menyebar melalui udara ketika penderita TBC aktif batuk, bersin, atau berbicara. Bakteri ini kemudian terhirup oleh orang lain. Meskipun tidak semua orang yang terpapar akan sakit TBC, sekitar 5-10% orang dengan infeksi TBC laten (bakteri ada di tubuh tapi tidak aktif) dapat mengembangkan TBC aktif di kemudian hari, terutama jika sistem kekebalan tubuh melemah.
Diagnosa TBC biasanya dilakukan melalui tes dahak, tes kulit (Mantoux test), atau tes darah, diikuti dengan rontgen dada untuk mengkonfirmasi keberadaan bakteri dan melihat tingkat kerusakan paru-paru.
Pentingnya Terapi Jangka Panjang
Salah satu kunci utama dalam mengatasi TBC adalah terapi jangka panjang dengan kombinasi beberapa jenis antibiotik. Durasi pengobatan TBC biasanya minimal enam bulan, bahkan bisa lebih lama, tergantung pada tingkat keparahan dan respons pasien terhadap obat. Kombinasi obat yang sering digunakan meliputi Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol.
Ketidakpatuhan dalam menjalani terapi, seperti tidak menyelesaikan seluruh dosis atau mengonsumsi obat secara tidak teratur, dapat menyebabkan bakteri TBC menjadi resisten terhadap obat. Ini berarti TBC akan lebih sulit diobati, membutuhkan pengobatan yang lebih lama, lebih mahal, dan berpotensi menimbulkan efek samping yang lebih parah. WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) mencatat bahwa kasus TBC resisten obat menjadi perhatian serius di banyak negara, termasuk di Asia Tenggara. Oleh karena itu, komitmen pasien dan dukungan dari keluarga serta tenaga medis sangat krusial untuk keberhasilan pengobatan TBC dan mencegah ancaman tersembunyi ini menyebar lebih luas.