Sistem kekebalan tubuh adalah benteng pertahanan alami kita dari berbagai ancaman, namun terkadang benteng ini bisa berbalik menyerang diri sendiri, sebuah kondisi yang dikenal sebagai penyakit autoimun. Kondisi ini, bersama dengan alergi, seringkali disalahpahami, padahal keduanya memiliki dampak signifikan terhadap kualitas hidup. Artikel ini akan mengupas lebih dalam mengenai penyakit autoimun dan alergi, serta bagaimana memahami perbedaannya adalah kunci untuk penanganan yang tepat.
Penyakit autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh, yang seharusnya melindungi kita dari infeksi dan penyakit, keliru menyerang sel-sel sehat dalam tubuh. Ini seperti memiliki musuh dalam selimut. Contoh umum termasuk lupus, rheumatoid arthritis, dan multiple sclerosis. Gejala bervariasi tergantung pada organ atau jaringan yang diserang, mulai dari kelelahan kronis, nyeri sendi, hingga masalah pencernaan. Diagnosis seringkali membutuhkan serangkaian tes darah dan pemeriksaan klinis. Pada tanggal 15 Mei 2024, di RS Bhayangkara Surabaya, dr. Angga Wijaya, seorang ahli imunologi, menjelaskan dalam sebuah seminar bahwa kesadaran dini terhadap gejala adalah krusial untuk mencegah kerusakan organ lebih lanjut.
Berbeda dengan penyakit autoimun, alergi adalah respons berlebihan sistem kekebalan tubuh terhadap zat yang sebenarnya tidak berbahaya bagi kebanyakan orang, seperti serbuk sari, makanan tertentu, atau bulu hewan. Gejala alergi bisa ringan, seperti bersin-bersin dan gatal-gatal, hingga parah dan mengancam jiwa (anafilaksis). Misalnya, pada hari Minggu, 12 Januari 2025, seorang petugas medis di Puskesmas Kalideres mengidentifikasi kasus alergi makanan parah pada seorang anak setelah mengonsumsi kacang. Penting untuk dicatat bahwa meskipun keduanya melibatkan sistem kekebalan tubuh, mekanisme pemicu dan dampaknya berbeda secara fundamental.
Penanganan penyakit autoimun seringkali melibatkan obat-obatan imunosupresif untuk menekan respons kekebalan tubuh yang berlebihan, sedangkan penanganan alergi lebih berfokus pada menghindari pemicu dan menggunakan antihistamin atau epinefrin dalam kasus darurat. Edukasi pasien mengenai kedua kondisi ini sangat penting. Informasi yang akurat dapat membantu individu mengelola kondisi mereka dengan lebih baik dan mencegah komplikasi serius. Masyarakat perlu memahami bahwa kedua kondisi ini bukanlah sekadar “penyakit biasa,” melainkan kondisi kompleks yang memerlukan perhatian medis profesional dan penyesuaian gaya hidup. Dengan pemahaman yang lebih baik, kita dapat membangun “benteng” yang lebih kuat untuk melindungi diri dari “musuh dalam selimut” ini.